Bawa Modal, SDM dan Teknologi, Perusahaan Migas Asing Untungkan Negara

Ilustrasi
Penolakan terhadap keputusan Pemerintah yang memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Corridor, Sumatera Selatan kepada kontraktor eksisting, yaitu ConocoPhillips untuk 20 tahun kedepan mulai tahun 2023, belakangan terus disampaikan sejumlah kalangan. Selanjutnya mereka meminta agar pengelolaan Blok Corridor sepenuhnya (100 persen) diserahkan kepada PT Pertamina.
Tak hanya itu, adanya perpanjangan kontrak ini berujung kekecewaan terhadap Kepala SKK Migas . FSPPB menuding Kepala SKK Migas tidak berpihak kepada Pertamina padahal yang bersangkutan paham bisnis minyak dan kondisi internal Pertamina karena mantan Dirut BUMN tersebut.
Bahkan Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar mengaku kecewa dengan kinerja direksi dan komisaris Pertamina yang tidak berusaha keras memperjuangkan pengambilalihan Blok Corridor 100 persen ke Pertamina.
Benarkah Komisaris dan Direksi Pertamina tidak memperjuangkan Blok Corridor? Dan kenapa pemerintah tidak menunjuk BUMN migas ini untuk mengerjakan Blok Corridor tersebut?
Sebagai orang bisnis kita meyakini direksi Pertamina dan pemerintah sudah melakukan kajian dan analisis-analisis terkait untung rugi dan dampak positif proyek ini. Diketahui, persetujuan perpanjangan Kontrak Kerja Sama Wilayah Kerja Corridor telah ditetapkan dengan Pemegang Partisipasi Interes ConocoPhillips (Grissik) Ltd (46%) sebagai operator, Talisman Corridor Ltd (Repsol) (24%) dan PT Pertamina Hulu Energi Corridor (30%).
Apalagi, partisipasi Interes yang dimiliki para pemegang interes tersebut termasuk Partisipasi Interes 10% yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Diharapkan dengan pemberian partisipasi interes 10% kepada BUMD ini, pemerintah daerah dapat mendukung investasi dan pengelolaan blok ini melalui regulasi dan tata kelola yang positif
Di Blok Corridor,tTiga tahun setelah Kontrak Kerja Sama berlaku efektif yakni hingga 19 Desember 2026, ConocoPhillips akan tetap menjadi operator Blok Corridor. Setelah itu PT Pertamina Hulu Energi Corridor berhak menjadi operator di Blok Corridor hingga tahun 2043. Patut dicatata, ini prestasi yang luar biasa.
Alasan Perpanjangan
Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengungkapkan alasan perpanjangan kontrak Blok Migas Corridor. Jonan menyebutkan persetujuan perpanjangan kontrak tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti signature bonus, komitmen eksplorasi yang cukup besar dan tidak ada yang melebihinya.
“Pemerintah telah menyetujui perpanjangan kontrak dengan tiga Badan Usaha hulu migas yaitu Conoco Phillips, Repsol dan Pertamina di WK Corridor yang akan berakhir pada tangga 19 Desember 2023, persetujuan perpanjangan ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal antara lain, signature bonusnya, komitmen eksplorasinya yang cukup besar dan tidak ada yang melebihinya maka pemerintah memperpanjang kontrak mereka 20 tahun hingga tahun 2043,” ujar Jonan seperti dikutip dari keterangan pers ESDM usai tandatangan SK
Kontrak Bagi Hasil WK Corridor akan berlaku untuk 20 tahun, efektif sejak tanggal 20 Desember 2023 dan menggunakan skema Gross Split. Perkiraan nilai investasi dari pelaksanaan Komitmen Kerja Pasti (KKP) 5 tahun pertama sebesar USD 250.000.000 dan Bonus Tanda Tangan sebesar USD 250.000.000.
Setelah mendapat persetujuan perpanjangan dari pemerintah selanjutnya, tiga Badan Usaha tersebut menyepakati setelah tanggal 19 Desember 2023 ditambah tiga tahun ke depan yakni hingga 19 Desember 2026 Conoco Phillips tetap akan menjadi operator.
“Setelah itu memasuki masa transisi sesuai kesepakatan mereka bertiga berapa lama maka Conoco Philips akan menyerahkan kepada Pertamina untuk menjadi operator. Mereka bertiga bersama akan tetap memegang Blok Corridor hingga tahun 2043,” jelas Jonan.
Lalu kenapa pemerintah tidak memberikan blok ini kepada Pertamina? Kita sepakat tidak semua pengelolaan Migas di dalam negeri harus dikelola Pertamina, selain keterbatasan modal, SDM, teknologi. Sementara asing bawa modal, SDM, dan teknologi yang nantinya akan terjadi transfer teknologi dan kemampuan yang manfaatnya besar sekali bagi kita.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, mengatakan pengelolaan ladang migas yang diserahkan ke asing terjadi, karena negara tak akan sanggup menggarap semua blok-blok migas itu sendiri lewat tangan Pertamina.
"Kenapa yang kuasai migas kita itu asing-asing yang skalanya besar kayak Chevron, Total, Shell kemudian sekarang ada Petrochina? Karena memang modal untuk eksplorasi migas itu luar biasa besar," kata Bambang dalam acara diskusi 'Masela untuk Siapa' di Gedung DPR, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selain modal yang sangat besar, jelas Bambang, negara juga tak mungkin sanggup untuk menanggung risiko dari eksplorasi migas yang juga tak kalah besar. "Bukan karena mahalnya juga, karena risiko besar. Karena begitu gali (eksplorasi) dalam skala ekstensif, bisa enggak dapat apa-apa. Belum tentu ada hasilnya. Minyak sama kayak panas bumi, risikonya besar, sekian lama drillinguapnya ternyata enggak cukup atau bahkan tidak ada sama sekali," terangnya.
Menyerahkan sebagian besar pengelolaan negara lewat Pertamina, justru akan membebani perusahaan migas pelat merah tersebut, karena besarnya modal dan risiko yang harus ditanggung. "Pertamina pun akan berpikir dua kali. Makanya Pertamina lebih suka dengan cadangan minyak yang sudah proven (terbukti), atau bekas dari perusahaan minyak sebelumnya," pungkas Bambang.
Tak Harus Pertamina
Apa yang disampaikan Bambang tersebut ada benarnya. Kita sepakat Pertamina tidak harus masuk ke semua bisnis migas, karena BUMN ini juga masih haus fokus menggarap proyek-proyek permigasan strategis lainnya, seperti di Tuban, Rokan, Balik papan dan lainnya.
Disisi lain, kalau Pertamina harus menggarap semua proyek migas tanpa melibatkan asing, kita tidak yakin BUMN ini mampu menyiapkan dana/modal, SDM dan teknologi. Belum lagi resikonya sangat besar. Ketiadaan modal tentu akan mendorong Pertamina lakukan pinjaman atau utang. Lalu sejumlah orang nyinyir bilang “Pertamina utang terus.”
Sepertinya pertimbangan pemerintah tidak menyerahkan Blok Corridor ke Pertamina juga ada kaitannya dengan pemasukan dana ke kas negara. Seandainya ConocoPhilips memberi tawaran keuntungan dan pemasukan lebih besar ke kas negara dibanding tawaran yang diberikan Pertamina dan swasta lainnya, tentu pemerintah akan memilih Conoco. Pasalnya negara butuh dana untuk melanjutkan pembangunan, antara lain infrastruktur.
“Dalam bisnis siapa yang memberikan untung besar, apalagi tidak ada resiko bagi keamanan dan ketahanan NKRI, wajar saja kalau pemerintah memilih Conoco. Apalagi negara butuh dana segar untuk membangun,” ujar seorang pengamat.
Contoh lagi. Kalau Pertamina memberi keuntungan Rp1000, kemudian swasta asing memberi Rp2000, tentu swasta asing yang dipilih. “Ini wajarkan dalam bisnis? Toh tidak ada resiko lain-lain. Apalagi Pertamina diberikan kepemilikan saham 30 persen dan dalam beberapa tahun Conoco kembali menjadi operator.”
Jadi, kalau melihat analisis diatas, tentu sangat naif kalau ada yang menyebut kerjasama pengelolaan Blok Corridor mengkerdilkan Pertamina, dan menyebut komisaris dan direksi tidak melakukan dan memperjuangkannya.
Disisi lain, jangan terlalu cepat menuding kerjasama dengan Conoco itu bertentangan dengan konstitusi, mengurangi potensi pendapatan negara dan tidak sejalan dengan upaya peningkatan ketahanan energi nasional. “Justru lewat Conoco dan kontrak-kontrak dengan perusahaan asing lainnya memberikan pendapatan negara, terlebih negara saat ii butuh dana segara,” ujar pengamat yang juga dosen di sebuah perguruan tinggi tersebut.
Bukan Dijual
Pelibatan swasta asing dalam proyek pembangunan di Indonesia, seperti bandara, pelabuhan, termasuk minyak dan gas, bukan berarti dijual. Pengamat Ekonomi Rheinald Kasali mengatakan, banyak alasan positif yang melatarbelakanginya, antara lain ini merupakan sinergi pemerintah dan swasta karena kerja sama yang dimaksud bukan hanya dengan asing tapi juga swasta nasional.
"Dalam sebuah kerja sama bisnis, ini merupakan hal yang sangat biasa. Sederhana saja, asing bawa modal, SDM, dan teknologi yang nantinya akan terjadi transfer teknologi dan kemampuan yang manfaatnya besar sekali bagi kita," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, belum lama ini.
Kita akui bisnis migas merupakan peluang bisnis menggiurkan sehingga banyak kedatangan pihak swasta asing yang menawarkan kerja sama. Namun bukan berarti pelibatan mereka dalam bisnis migas di Indonesia sebagai penjualan aset ke swasta atau asing, karena dalam hal ini pemerintah tidak menjual atau melimpahkan melainkan mengajak kerja sama dengan tujuan untuk peningkatan pelayanan, daya saing ekonomi dan partisipasi modal. Jangan pula dianggap mengkerdilkan BUMN, antara lain Pertamina.
Apalagi, swasta asing itu memberikan masukan dana yang lebih besar dibanding Pertamina maupun peruasahaan migas asing. Mereka membawa modal/uang, SDM, dan teknologi yang nantinya akan terjadi transfer teknologi dan kemampuan yang manfaatnya besar sekali bagi kita.
Kerja sama yang dilakukan pun dalam bentuk pengelolaan dengan menggunakan skema pemanfaatan barang milik negara (aset) dan kerja sama operasional dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, tidak ada penjualan aset atau pengalihan aset negara dalam kerja sama tersebut. Dalam hal ini, semua aset tetap dikuasai negara.
Kita tidak sependapat dengan ungkapan sejumlah kalangan yang berpandangan negatif pada tata kelola migas di negara ini, di mana pengelolaannya sebagian besar dikelola oleh korporasi minyak raksasa asing.
Pengelolaan migas di Indonesia tidak harus dilakukan Pertamina, juga membutuhkan perusahaan migas asing untuk mengelola sumber daya alam (SDA) dalam negeri. Sebab, untuk melakukan eksplorasi membutuhkan waktu yang lama dengan biaya yang cukup tinggi.
Menurut SKK Migas, saat ini belum ada perusahaan migas nasional baik BUMN maupun swasta yang memiliki kemampuan dana untuk melakukan eksplorasi.
"Begitu banyak risiko yang ditanggung mereka, kan kita tidak punya kemampuan dana seperti itu," ungkap Kepala Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi SKK Migas, Taslim Z Yunus, belum lama ini.
Sebelumnya Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengemukakan, Presiden Jokowi harus membatalkan perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Corridor karena bertentangan dengan konstitusi, mengurangi potensi pendapatan negara dan tidak sejalan dengan upaya peningkatan ketahanan energi nasional.
Krisis Venezuela
Terkait pengelolaan migas di negeri ini, saya sependapat dengan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyebutkan, di awal ketika membutuhkan modal, Indonesia meminta asing untuk berinvestasi. Akan tetapi, kemudian meminta asing untuk 'pulang' dengan cara divestasi atau nasionalisasi ketika asing sudah mendapatkan untung.
Kalla pun meminta untuk menjaga agar semangat divestasi dan nasionalisasi tersebut tidak terlalu berlebihan sehingga bisa membuat Indonesia bernasib seperti Venezuela.
Seperti diketahui, Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez mulai melakukan nasionalisasi besar-besaran sejak 2007 terutama terhadap aset asing yang mengelola sumber daya alam Venezuela seperti minyak dan emas. Beberapa perusahaan raksasa yang dinasionalisasi tidak tanggung-tanggung. Ada nama Exxon Mobil, Conoco Philips, Chevron, perusahaan makanan Amerika Serikat Cargill Inc, perusahaan pupuk nitrogen Fertinitro, perusahaan semen Swiss Holcim, Cemex Meksiko, dan perusahaan tambang emas Rusoro Mining milik Rusia sudah tunduk di tangan Chavez.
Akan tetapi, semangat nasionalisasi tersebut berujung pada krisis yang saat ini dialami Venezuela di bawah Presiden Nicolas Maduro. Investor sudah kadung tidak percaya dengan Venezuela. Bahkan, hasil riset yang dilakukan Simon Bolar University, 90% penduduk Venezuela sudah tak lagi mampu membeli cukup pangan. Negara yang dulunya dikenal kaya akan minyaknya tersebut kini meratapi nasib yang tragis.
"Venezuela itu negara yang paling kaya cadangan minyaknya, kalah Saudi, tapi waktu Chavez memerintah semua digunakan ke politik. Semua dinasionalisasi, investor mengundurkan diri sehingga produktivitas menurun, dikorup lagi," cerita Kalla dalam acara Breakfast Meeting bertajuk Prospek Ekonomi Indonesia 2018 yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia di Hotel Aryaduta, Kamis (2/11).
Saya menyatakan, pengambilalihan pengelolaan Blok Corridor dan saham-saham perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia (nasionalisasi) tidak selalu menguntungkan, bahkan bisa sangat merugikan yang mendorong terjadinya krisis keuangan dan ekonomi di negeri ini. Nasionalisasi tidak selalu membuat rakyat sejahtera.
Oleh: Ian Rasyidin, Pengamat Kebijakan Publik