Insiden Kartu Kuning: Kok Sri Mulyani Sewot Padahal Presiden Tidak Tersinggung

Sri Mulyani
Jakarta, Terbitnews - Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang meminta mahasiswa UI tidak ikut-ikutan memberikan kartu kuning kepada Presiden Jokowi dan demo sebelum lulus mata kuliah makro ekonomi, dikecam.
“Kok Sri Mulyani sewot? Padahal Presiden Jokowi tidak tersinggung. Ulfikar AToh mahasiswa sekedar mengingatkan, apalagi kartu kuning itu hal biasa dalam demokrasi,” kata pengamat kebijakan publik Zulfikar Ahmad kepada TerbitNews, Selasa (6/2).
Sementara itu ekonom Rizal Ramli dalam akun twitternya @RamliRizal, Selasa menyatakan,”ternyata nora banget demokrasi boleh saja beda pendapat Ikut kuliah percuma, wong situ bisanya cuma minjem dgn bunga tinggi, yield bonds RI 2-3% lebih tinggi dari Thailand, Philipina & Vietnam. Itu rugikan Indonesia milyaran dollar tahu ? Situ belajar lagi basic finance.”
Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane, kartu kuning tersebut pada dasarnya adalah bentuk protes dari kalangan mahasiswa. "Kartu kuning yang diacungkan Ketua BEM UI bentuk sosial kontrol mahasiswa terhadap pemerintah," ujar Neta.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Sapta Prabowo memastikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sama sekali tidak tersinggung atas pemberian hadiah berupa kartu kuning yang diduga dilakukan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) 2018 Zaadit Taqwa.
Yang ironis, Sri Mulyani malah sewot dan menyindir bekas kampusnya, Universitas Indonesia (UI) soal pemberian hadiah berupa kartu kuning yang dilakukan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UI 2018 Zaadit Taqwa kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Saat menjadi dosen pengantar ekonomi mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI, dia mengatakan, kalian sebelum lulus mata kuliah makro ekonomi jangan ikut-kutan memberikan kartu kuning untuk Presiden. Sri sangat rezimis, padahal Presiden sendiri biasa saja.
"Lulus makro ekonomi dulu, baru boleh demo," ujarnya, di Auditorium FEB UI Kampus Depok, Jakarta, Senin (5/2/2018).
Kinerja SMI Jeblok
Menteri Keuangan Sri Mulyani selama berkuasa meminjam dengan bunga tinggi, yield bond RI 2-3 persen lebih tinggi dari Thailand, Filipina dan Vietnam. Hal itu merugikan Indonesia milyaran dollar AS . Tahukah anda Menkeu Sri? Target pertumbuhan ekonomi Presiden Jokowi adalah 5,2% namun Menkeu Sri hanya mampu capai 5,07 persen. Itupun ditandai dengan merosotnya daya beli rakyat dan kontraksi ekonomi akibat utang terlalu besar.
Kinerja buruk Sri Mulyani Indrawati (SMI), dan Menko Darmin Nasution sudah menenggelamkan Jokowi ke dalam kegagalan Nawa Cita. Pertumbuhan ekonomi rendah, ekspektasi publik amblas dan ekonomi rakyat makin mampat, daya beli merosot dan harapan rakyat bagi kehidupan yang lebih adil dan baik, makin suram. Demikian pandangan para analis dan peneliti independen.
Soal pertumbuhan ekonomi yang rendah dan pernyataan ketidak sanggupan Sri Mulyani Indrawati (SMI) untuk membuat pertumbuhan yang lebih dari 5,1 persen, maka sebenarnya SMI telah membatasi hak-hak rakyat untuk hidup lebih makmur. Atau dengan kata lain menunda kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa menjadi kapan-kapan, entar besok entar besok, atau tarsok tarsok. Demikian pandangan peneliti independen Ir Abdulrachim, mantan aktivis ITB.
Menurutnya, bukannya justru meletakkan dasar-dasarnya . SMI malah selalu berkilah bahwa pertumbuhan kita adalah yang nomor tiga setelah China dan India. Hal itu tidak benar karena Filipina 2015 tumbuh 5,9 persen, 2016 tumbuh 6,8 persen dan 2017 diharapkan tumbuh antara 6,5 - 7,5 persen, Vietnam 2015 tumbuh 6,7 persen , 2016 tumbuh 6,2 persen dan 2017 diharapkan tumbuh 6,7 persen, sedangkan Indonesia 2015 tumbuh 4,79 persen, 2016 tumbuh 5,02 persen dan 2017 diharapkan tumbuh 5,1 persen. Sangat jauh di bawah Filipina dan Vietnam.
Menurutnya, SMI hanya berani membanding pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan negara-negara maju di Asia yang lebih rendah pertumbuhan ekonominya. Pembandingan ini tidak fair karena memang merupakan gejala umum diseluruh dunia bahwa negara maju mempunyai pertumbuhan yang lebih kecil. Misalnya Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan Jepang untuk mengejar pertumbuhan 3-4 persen saja sangat sulit. Masuk akal kalau pekan ini Presiden Jokowi melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya kepada para menteri ekuin karena pertumbuhan ekonomi cuma 5%. Sedangkan omongan besar Menkeu Sri Mulyani dan Menko Darmin Nasution dan Tim Ekuin lainnya terbukti Cuma ‘’verbalisme kosong’’ belaka. Ekonomi stagnan, daya beli rakyat merosot dan korupsi merajalela serta harapan rakyat bagi kehidupan ekonomi yang lebih baik, semakin gelap dan menuju sirna.